MEMBANGUN
MASYARAKAT PANCASILA
Written by : Bernadeta Shintawati
Bagi umat Katolik,
pengalaman dan perjuangan Pancasila merupakan medan penghayatan iman. Pertemuan
Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) di Jakarta 12 juli 1984, pada no. 43
telah menyepakati :
Pancasila
mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang juga dijunjung tinggi dala
ajaran-ajaran Gereja. Karena itu, Gereja menerima Pancasila bukan karena
pertimbangan-pertimbangan taktis, melainkan karena nilai-nilai luhur Pancasila
itu sendiri. Kita ikut memperkaya pemahanan, penghayatan, dan pengamalan
Pancasila itu dan dengan demikian ikut sungguh-sungguh membangun masyarakat
Pancasila. Pengamalan di dalam kehidupan warga yang Katolik dapat dihayati
sebagai suatu bentuk perwujudan iman Kristiani dalam konteks mayarakat
Indonesia.
Gereja Katolik
yakin bahwa Pancasila yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dala sejarah
Republik kita ini, merupakan wadah kesatuan dan persatuan nasional. Maka dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Katolik menerima Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Pembukaa UUD 1945.
Sila pertama Ketuhanan Yang
Maha Esa, menyadarkan akan nilai-nilai percaya dan takwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa; sikap hormat-menghormati dan kerja sama antar-pemeluk
agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda; sikap saling menghormati
kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Sikap-sikap tersebut
menuntut setiap warga negara Indonesia untuk mengupayakan terciptanya suasana
kerukunan. Kerukunan ini dapat dibangun dengan sikap dewasa dalam iman, yakni
mampu menghormati pandangan yang berbeda, juga dalam bidang agama, dan
menghargai serta mencintai orangyang tidak sepaham.
Paham Gereja tentang agama
lain, Konsili Vatikan II, dalam dokumen tentang Hubungan Gereja dengan
Agama-Agama Bukan Kristen, artikel 2, menyatakan:
“Gereja
Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci.
Dengan sikap hormat yangtulus Gereja merenungkan cara bertindak dan cara hidup,
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari
apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (NA 2)
Sila kedua, Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab, mencanangkan agar manusia diakui dna diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabat nya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang
sama derajatanya, yang sama hak san kewajiban-kewwajiban asasinya, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial warna kulit. Karena itu, dikembangkanlah sikap salingmencintai
sesama manusia, sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain. Bahkan, berdasakan kesamaa derjat sebagai
manusia, bangsa Indonesia dianjurkan mengembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Umat Katolik diharapkan
bertindak dengan kesadaran bahwa semua manusia “diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah,” (bdk. Kej. 1:26) dan
bahwa manusia dicintai Bapa dan direncanakan supaya selamat berkat karya
penebusan Yesus Kristus. Maka sebenarnya semua manusia di mana saja merupakan
satu keluarga besar.
Mengenai hubungan dengan
bangsa-bangsa lain, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang
Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 83, dianjurkan : kerja sama persaudaraan
antarbangsa dan antarnegara untuk meningkatkan kesejahteraan dan perdamaian
seluruh umat manusia (bdk. GS 83)
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengamanatkan
agar bangsa Indonesia menempatkan persatuna, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan
demikian, diharapkan manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban utnuk kepentingan
negara dan bangsa apabila diperlukan. Sehubungan dengan itu hendaknya dipupuk
cinta kepada tanah air dan bangsa.
Dokumen Konsili Vatikan
II, dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 75,
merumuskan:
“Hendaknya
para warga negara dengan kebesaran jiwa dan kesetiaan memupuk cinta tanah air,
tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serentak tetap memperhatikan
kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui pelbagai ikatan
antarsuku, antarbangsa, dan antarnegara.” (GS 75)
Sila keempat, Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
menempatkan manusia Indonesia sebagai warga negara dalam kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama. Karena itu, tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksaan
kepada pihak lain. Tiap keputusan hendaknya diambil dalam musyawarah antara
semua pihak, dengan semangat kekeluargaan demi tercapainya mufakat dan demi
kepentingan bersama. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, harus menjujugn harkat dan martabat manusia,
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan
demi kepentingan bersama.
Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 74, mengemukakan pedoman
mengenai musyawarah dalam suasana kekeluargaan sebagai berikut:
Dalam
pelaksanaannya dapat memakai pola yang bermacam-macam sesuai dengan sifat
perangai bangsa-bangsa dan perjalanan sejarah bangsa yang bersangkutan. Akan
tetapi, pola tersebut harus selalu mengabdi kepada pembinaan manusia yang
berbudaya, cinta damai, dan baik hati terhadap siapa saja, demi keuntungan
segenap keluarga manusia. (GS 74)
Sila kelima,
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
menyadarkan kita akan hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan soisial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk maksud itu
dituntut beberapa sikap, yakni sikap terhadap sesama, menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain. Selain itu juga dituntut sikap suka
memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri;
sikap yang menghindari tiap bentuk pemerasan, pemborosan, gaya hidup mewah serta
sikap yang bertentangan dengan kepantingan umum; sikap suka bekerja keras, dan
mengharagi kerya orang lain yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.
Sikap utama menolong adalah ungkapan cainta kasih yang
merupakan hukum utama Kristiani. Demikian pula sikap menghormati hak-hak orang
lain. Amanat Kristus dengan tegas mengutus kita untuk membawa kabar baik kepada
kaum miskin.
Umat Katolik perlau selalu mempertajam kesadaran akan
kewajiban solidaritasnya dengan kaum miskin. Keadilan menuntut agar hasil
pembangunan yang diperoleh dengan menggunakan kekayaan negara dan jerih payah
rakyat itu dapat dinikmati secara semakin merata oleh rakyat banyak di Seluruh
nusantara. Umat Katolik wajib membantu Pemerintah agar upaya pemerataa
hasil-hasil pembangunan itu semakin hari semakin terwujud.
Source : Mengikuti Yesus
Kristus 3-Komkat KAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar