Rabu, 02 Januari 2013

Edisi KATOLIK


MEMBANGUN MASYARAKAT PANCASILA


Written by : Bernadeta Shintawati

            Bagi umat Katolik, pengalaman dan perjuangan Pancasila merupakan medan penghayatan iman. Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) di Jakarta 12 juli 1984, pada no. 43 telah menyepakati :

Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang juga dijunjung tinggi dala ajaran-ajaran Gereja. Karena itu, Gereja menerima Pancasila bukan karena pertimbangan-pertimbangan taktis, melainkan karena nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri. Kita ikut memperkaya pemahanan, penghayatan, dan pengamalan Pancasila itu dan dengan demikian ikut sungguh-sungguh membangun masyarakat Pancasila. Pengamalan di dalam kehidupan warga yang Katolik dapat dihayati sebagai suatu bentuk perwujudan iman Kristiani dalam konteks mayarakat Indonesia.

          Gereja Katolik yakin bahwa Pancasila yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dala sejarah Republik kita ini, merupakan wadah kesatuan dan persatuan nasional. Maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Katolik menerima Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaa UUD 1945.
            Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menyadarkan akan nilai-nilai percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa; sikap hormat-menghormati dan kerja sama antar-pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda; sikap saling menghormati kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya.
            Sikap-sikap tersebut menuntut setiap warga negara Indonesia untuk mengupayakan terciptanya suasana kerukunan. Kerukunan ini dapat dibangun dengan sikap dewasa dalam iman, yakni mampu menghormati pandangan yang berbeda, juga dalam bidang agama, dan menghargai serta mencintai orangyang tidak sepaham.
            Paham Gereja tentang agama lain, Konsili Vatikan II, dalam dokumen tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, artikel 2, menyatakan:

“Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yangtulus Gereja merenungkan cara bertindak dan cara hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (NA 2)

            Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, mencanangkan agar manusia diakui dna diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat nya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatanya, yang sama hak san kewajiban-kewwajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial warna kulit. Karena itu, dikembangkanlah sikap salingmencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Bahkan, berdasakan kesamaa derjat sebagai manusia, bangsa Indonesia dianjurkan mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
            Umat Katolik diharapkan bertindak dengan kesadaran bahwa semua manusia “diciptakan menurut gambar dan rupa Allah,” (bdk. Kej. 1:26) dan bahwa manusia dicintai Bapa dan direncanakan supaya selamat berkat karya penebusan Yesus Kristus. Maka sebenarnya semua manusia di mana saja merupakan satu keluarga besar.
            Mengenai hubungan dengan bangsa-bangsa lain, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 83, dianjurkan : kerja sama persaudaraan antarbangsa dan antarnegara untuk meningkatkan kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat manusia (bdk. GS 83)
          
            Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengamanatkan agar bangsa Indonesia menempatkan persatuna, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Dengan demikian, diharapkan manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban utnuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan. Sehubungan dengan itu hendaknya dipupuk cinta kepada tanah air dan bangsa.
            Dokumen Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 75, merumuskan:

“Hendaknya para warga negara dengan kebesaran jiwa dan kesetiaan memupuk cinta tanah air, tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serentak tetap memperhatikan kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui pelbagai ikatan antarsuku, antarbangsa, dan antarnegara.” (GS 75)

          Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menempatkan manusia Indonesia sebagai warga negara dalam kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Karena itu, tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksaan kepada pihak lain. Tiap keputusan hendaknya diambil dalam musyawarah antara semua pihak, dengan semangat kekeluargaan demi tercapainya mufakat dan demi kepentingan bersama. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, harus menjujugn harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
            Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, artikel 74, mengemukakan pedoman mengenai musyawarah dalam suasana kekeluargaan sebagai berikut:

Dalam pelaksanaannya dapat memakai pola yang bermacam-macam sesuai dengan sifat perangai bangsa-bangsa dan perjalanan sejarah bangsa yang bersangkutan. Akan tetapi, pola tersebut harus selalu mengabdi kepada pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai, dan baik hati terhadap siapa saja, demi keuntungan segenap keluarga manusia. (GS 74)

          Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menyadarkan kita akan hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan soisial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk maksud itu dituntut beberapa sikap, yakni sikap terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang  lain. Selain itu juga dituntut sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri; sikap yang menghindari tiap bentuk pemerasan, pemborosan, gaya hidup mewah serta sikap yang bertentangan dengan kepantingan umum; sikap suka bekerja keras, dan mengharagi kerya orang lain yang bermanfaat bagi kepentingan bersama.
            Sikap utama menolong adalah ungkapan cainta kasih yang merupakan hukum utama Kristiani. Demikian pula sikap menghormati hak-hak orang lain. Amanat Kristus dengan tegas mengutus kita untuk membawa kabar baik kepada kaum miskin.
            Umat Katolik perlau selalu mempertajam kesadaran akan kewajiban solidaritasnya dengan kaum miskin. Keadilan menuntut agar hasil pembangunan yang diperoleh dengan menggunakan kekayaan negara dan jerih payah rakyat itu dapat dinikmati secara semakin merata oleh rakyat banyak di Seluruh nusantara. Umat Katolik wajib membantu Pemerintah agar upaya pemerataa hasil-hasil pembangunan itu semakin hari semakin terwujud.


Source : Mengikuti Yesus Kristus 3-Komkat KAS